PUNGGAWAFOOD, YOGYAKARTA – Tidak ada yang bisa memisahkan Yogyakarta dari gudegnya. Makanan berbahan dasar nangka muda ini telah menjadi jiwa kuliner Kota Pelajar, mengiringi setiap perjalanan wisata yang tak akan lengkap tanpa mencicipi kelezatannya.
Evolusi Sajian Tradisional
Berbeda dengan masa lalu yang hanya menyajikan nangka muda berkuah santan sederhana, kini gudeg hadir dalam kemasan yang lebih kaya. Para pedagang memperkaya sajian dengan beragam pelengkap memikat seperti telur pindang, krecek renyah, ayam opor yang gurih, tempe dan tahu bacem yang manis, serta areh – santan kental beraroma rempah yang disajikan di atas alas daun pisang tradisional.
Keistimewaan gudeg terletak pada fleksibilitasnya. Hidangan ini tersedia sepanjang hari, dari fajar hingga malam tiba. Baik di restoran mewah maupun warung pinggir jalan, bahkan di pasar tradisional, gudeg selalu siap menemani siapa saja yang ingin merasakan cita rasa autentik Yogyakarta sambil menikmati suasana kota yang khas.
Asal Muasal dari Alas Mentaok
Sejarah mencatat bahwa gudeg lahir dari tangan-tangan pekerja sederhana pada era pembangunan Kerajaan Mataram. Berdasarkan catatan National Geographic, kisah ini bermula pada tahun 1500-an ketika Kerajaan Mataram Islam mulai berdiri di kawasan Kotagede, tepatnya di Alas Mentaok.
Masa itu, pembabatan hutan besar-besaran terjadi untuk pembangunan kerajaan. Pohon-pohon yang tidak memiliki nilai ekonomi tinggi seperti angkil (melinjo), kelapa, dan terutama nangka muda (gori) ditebang dalam jumlah besar. Kondisi ini terjadi karena penjajah Belanda lebih mengutamakan komoditas pertanian yang dianggap lebih menguntungkan secara komersial.
Lahirnya Inovasi Kuliner
Menghadapi melimpahnya nangka muda yang terbuang, masyarakat dan para pekerja mulai bereksperimen. Mereka menciptakan sajian dengan merebus gori dalam kuali raksasa selama 12-15 jam hingga teksturnya menjadi sangat lembut. Proses panjang ini disempurnakan dengan tambahan bumbu-bumbu pilihan: ketumbar, kemiri, lengkuas, daun salam, bawang putih, bawang merah, gula jawa, dan santan yang menghasilkan potongan nangka berwarna cokelat dengan rasa manis yang khas.
Karena dimasak untuk ratusan pekerja, proses memasak ini memerlukan pengadukan terus-menerus menggunakan sendok kayu berukuran besar. Teknik pengadukan inilah yang dalam bahasa Jawa disebut “hangudek” atau “hangudeg”, yang kemudian menginspirasi nama “gudeg” untuk sajian revolusioner ini.
Ragam Jenis dan Karakteristik
Gudeg Yogyakarta memiliki keunikan tersendiri dibandingkan varian dari daerah lain. Dibedakan berdasarkan teksturnya, terdapat gudeg kering dan gudeg basah, dengan gudeg Jogja cenderung lebih kering dan tahan lama. Hal ini dicapai melalui proses penggorengan yang lebih lama, mengurangi kadar air dan mengubah cita rasa serta daya tahannya.
Berdasarkan bahan utamanya, gudeg terbagi menjadi tiga kategori:
Gudeg Gori – varian paling umum menggunakan nangka muda yang mudah ditemukan di seluruh penjuru Yogyakarta.
Gudeg Rebung – umumnya tersedia di restoran-restoran dengan menggunakan rebung sebagai bahan utama.
Gudeg Manggar– varian paling istimewa yang terbuat dari bunga kelapa muda. Meskipun menggunakan bumbu yang sama dengan gudeg gori, prose pembuatannya memakan waktu satu malam penuh. Gudeg eksklusif ini biasanya hanya disajikan pada acara-acara khusus dan menjadi favorit Sultan Hamengkubuwono X.
Warisan Budaya yang Berkelanjutan
Jejak gudeg juga tercatat dalam literatur klasik Jawa, khususnya dalam Serat Centhini (1814-1823) sebagai hidangan istana di Kesultanan Surakarta. Ini menunjukkan bahwa gudeg telah menjadi bagian integral dari budaya kuliner Jawa sejak berabad-abad lalu.
Filosofi di balik gudeg mengajarkan kesabaran dan rasa syukur atas segala pemberian Tuhan. Proses pembuatan yang memakan waktu lama menjadikan gudeg sebagai hidangan istimewa, bahkan dahulu sering dijadikan makanan nazar atau ungkapan syukur atas kesembuhan dari penyakit.
Kini, gudeg tidak hanya menjadi simbol kuliner Yogyakarta, tetapi juga representasi kekayaan sejarah dan budaya yang terus hidup di tengah masyarakat modern.