PUNGGAWAFOOD, Laha Bete adalah mahakarya kuliner tradisional yang berasal dari masyarakat pesisir Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Hidangan ini tidak hanya sekadar lauk pauk; ia memiliki nilai budaya yang tinggi, terbukti dengan pengakuan resminya sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTB) pada tahun 2021.
Secara etimologi, namanya langsung menjelaskan komposisinya. Dalam bahasa lokal Bugis Sinjai, “Laha” berarti makanan yang dicampur dengan kelapa, dan “Bete” mengacu pada ikan teri atau ikan mairo. Dengan demikian, Laha Bete berarti ikan teri yang bercampur dengan kelapa.
Proses Pembuatan yang Unik
Laha Bete dibuat dari ikan laut segar, umumnya menggunakan ikan teri basah atau ikan mairo, hasil tangkapan nelayan setempat. Keunikan Laha Bete terletak pada proses pembuatannya karena tidak melibatkan proses memasak di atas api (tidak digoreng atau ditumis), melainkan melalui teknik “mematangkan” ikan secara kimiawi, menyerupai hidangan internasional ceviche.
Langkah pertama adalah membersihkan ikan secara teliti, memisahkan kepala dan tulang (mappangaja’ bete). Daging ikan mentah ini kemudian direndam dalam cairan asam yang kuat, seperti cuka nipa (cuka dari pohon nipa) atau perasan jeruk nipis (atau jeruk purut/lemot-lemot). Proses perendaman ini bertugas menghilangkan bau amis dan secara alami “mematangkan” tekstur daging ikan. Setelah proses asam selesai, daging ikan dicampur dengan kelapa parut yang telah disangrai dan ditumbuk, cabai, bumbu halus, dan kadang ditambahkan daun kemangi untuk aroma yang segar.
Hasilnya adalah perpaduan cita rasa yang luar biasa: asam segar, gurih, dan pedas yang memanjakan lidah. Rasa gurih dan tekstur yang kaya berasal dari kelapa parut sangrai yang menjadi ciri khas hidangan ini.
Nilai Sejarah dan Budaya
Laha Bete diyakini sudah ada dan menjadi lauk sederhana yang mudah diperoleh oleh keluarga nelayan setempat sejak sebelum masa kolonial. Meskipun awalnya hanya hidangan harian, kini statusnya telah meningkat drastis. Laha Bete wajib disajikan dalam berbagai acara penting di Sinjai, mulai dari pernikahan, syukuran, hingga jamuan resmi pemerintah.
Popularitas kuliner ini sempat mengalami puncak baru setelah seorang budayawan menulis lagu daerah berjudul Laha Bete pada tahun 1990-an, yang secara rinci mengisahkan proses pembuatannya, membuat hidangan ini semakin dicintai masyarakat.
Secara regional, Laha Bete memiliki kemiripan dengan hidangan sejenis di daerah Bugis lainnya yang dikenal sebagai Lawa’ Bale atau Lawa’ Mairo, meskipun istilah “Laha'” secara spesifik berakar kuat di Sinjai. Laha Bete tidak hanya sekadar makanan, melainkan representasi keharmonisan masyarakat Sinjai dengan hasil lautnya, sekaligus penanda warisan budaya yang harus dilestarikan.

Tinggalkan Balasan