PUNGGAWAFOOD, Di tengah hiruk pikuk kota Surabaya, berdiri tegak sebuah kedai kopi kecil yang menyimpan sejarah panjang: Kopi Sigan. Dari luar, kedai ini tampak bersahaja. Namun, begitu melangkah masuk, pengunjung langsung disambut oleh aroma khas kopi tubruk tumbuk dan bisikan kenangan masa lalu.
Kopi Sigan bukan sekadar tempat minum kopi biasa; ia adalah warisan keluarga yang telah bertahan lintas generasi. Berdiri sejak tahun 1950-an, atau bahkan lebih lama lagi, kedai ini diwariskan secara turun-temurun. Saat ini, tongkat estafet dipegang oleh Pak Gunawan, generasi ketiga yang menjaga tradisi.
“Kedai kopi ini dimulai dari kakek nenek saya sudah di sini memang buka depot kopi,” tutur Pak Gunawan. Ilmu meracik kopi tubruk otentik ia dapatkan langsung dari sang ayah, resep turun-temurun yang sudah ia kuasai sejak usia 10 tahun.
Saksi Bisu Perjalanan Waktu
Setiap sudut Kopi Sigan adalah museum kecil yang menyimpan sejarah. Radio tua, gelas-gelas kuno, timbangan antik, hingga teko tua yang warnanya mulai pudar bukan sekadar pajangan. Semua barang antik itu adalah saksi bisu perjalanan panjang keluarga Pak Gunawan dan Bu Cindi dalam menjaga tradisi kopi asli Indonesia.
Bersama sang istri, Bu Cindi, Pak Gunawan merawat setiap detail kedai ini dengan sepenuh hati. Setiap pagi, mereka menyiapkan kedai bersama, membersihkan meja dan kursi, serta memastikan setiap cangkir kopi disajikan dengan kehangatan yang sama seperti di masa lampau.
Menariknya, Bu Cindi yang dulunya lebih akrab dengan kopi modern yang manis, kini telah jatuh hati pada kopi hitam pahit seduhan suaminya. “Asalnya enggak suka kopi. Asalnya enggak pernah minum kopi,” kenangnya. Namun, setelah menikah dan setiap hari mencium aroma kopi hitam, seleranya pun berubah. Baginya, kini terasa ada yang kurang jika sehari tanpa secangkir kopi pahit.
Menjaga Otentisitas di Tengah Gempuran Modern
Dengan segala kesederhanaannya, Kopi Sigan tetap teguh bertahan di tengah gempuran kafe-kafe modern yang menawarkan mesin espresso mewah dan variasi creamer buatan. Di sini, semua proses penyajian masih manual—dari penggilingan biji kopi hingga penyeduhan air mendidih.
“Bahan mungkin sama, tapi tangannya yang berbeda,” ungkap Pak Gunawan, mengungkap salah satu rahasia yang dijaga. Rahasia itu bukan hanya soal kopi, tapi juga tentang makna ketulusan: bahwa rasa yang baik lahir dari kesabaran dan cinta pada proses.
Anak muda yang datang ke Kopi Sigan seringkali awalnya hanya penasaran dengan koleksi barang-barang antik yang tersebar di kedai, termasuk stok barang antik zaman dulu seperti botol minyak. “Tahunya itu dari teman sih waktu itu. Teman bilang kalau ada kopi legend di Surabaya,” ujar salah satu pelanggan.
Namun, setelah duduk lama dan menyeruput kopi hitam murni tanpa campuran, mereka mulai paham. Menikmati kopi sejati di Kopi Sigan bukan tentang gaya hidup, tapi tentang menghargai waktu dan cerita yang ada di baliknya.
Warisan Cinta dan Kesabaran
Menjalankan usaha sebagai pasangan tentu ada tantangan, namun Pak Gunawan dan Bu Cindi saling melengkapi, menjaga rasa, dan saling menjaga suasana kedai. Lebih dari sekadar bisnis, Kopi Sigan menjadi ruang edukasi kecil tentang warisan budaya dan nilai kesederhanaan.
Pak Gunawan dan Bu Cindi berharap, anak muda yang datang tidak hanya menikmati rasa kopi, tetapi juga belajar menghargai proses dan memahami bahwa “tua itu tidak ketinggalan zaman, justru itu yang paling jujur dan apa adanya.”
Setiap cangkir kopi di Kopi Sigan adalah pengingat bahwa beberapa hal memang sebaiknya tidak berubah—seperti rasa asli, kesederhanaan, dan cerita keluarga yang diseduh dengan sepenuh hati. Sepasang lansia di Jalan Cendrawasih ini tidak hanya menjual minuman, tetapi juga menghadirkan ruang untuk mengenang dan belajar.
Di tengah dunia yang serba cepat, Kopi Sigan mengajarkan kita untuk sejenak melambat dan menghargai jejak masa lalu. Karena di balik satu cangkir kopi tubruk, tersimpan seribu kenangan dan kisah cinta yang abadi.