Temberungun, Keong Laut Legendaris Suku Tidung yang Kini Semakin Langka

PUNGGAWAFOOD– Siapa sangka, keong laut bernama temberungun (Telescopium telescopium) yang tampak sederhana ini menyimpan sejarah panjang kuliner Nusantara. Bagi suku Tidung di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, temberungun bukan sekadar makanan biasa. Ini adalah warisan budaya yang telah mengakar turun-temurun.

Dengan warna hitam kehijauan hingga kekuningan dan tekstur kenyal khas, temberungun selalu hadir dalam momen-momen spesial masyarakat Tidung. Sayangnya, keong laut yang satu ini kini semakin sulit ditemukan di habitat aslinya.

Kelezatan yang Butuh Ketelitian

Mengolah temberungun memang tidak sembarangan. Keong laut ini harus dibersihkan dengan teliti agar bebas dari pasir, kemudian direbus hingga teksturnya melunak. Setelah itu, barulah bisa diolah menjadi berbagai sajian menggugah selera seperti pepes atau tumis.

Jangan remehkan kandungan gizinya! Penelitian Hafiluddin (2011) yang dikutip Maizan (2022) mengungkap bahwa temberungun mengandung protein tinggi mencapai 12,16% dengan kadar lemak rendah hanya 0,38%. Cocok banget buat yang lagi diet tapi tetap butuh asupan protein berkualitas.

Menu Wajib Acara Sakral

Keket, warga lainnya, mengaku temberungun selalu jadi bintang di berbagai acara penting. Mulai dari pernikahan, akikah, hingga selamatan, keong laut ini selalu dicari-cari.

“Di Tanjung Palas lebih sering disajikan karena banyak masyarakat Tidung yang masih berprofesi sebagai nelayan dan memahami cara mengambil serta mengolahnya,” jelas Keket.

Tapi ada masalah serius yang dihadapi. Temberungun kini semakin langka dan harganya pun melambung tinggi. Padahal dulu, mencari satu karung penuh bukan hal sulit.

Harapan di Tengah Kelangkaan

Meski menghadapi tantangan, Keket tidak putus asa. Ia berharap temberungun bisa diikutsertakan dalam lomba masak atau acara penting di Tanjung Palas dan Tanjung Selor. Tujuannya, agar kuliner bersejarah ini tetap hidup dan dikenal generasi mendatang.

“Makanan ini memang memiliki cita rasa tersendiri. Dapat disajikan dengan berbagai olahan sesuai selera,” kata Keket bangga.

Ia juga bernostalgia tentang pengalaman berburu temberungun langsung ke laut bersama keluarga. “Dulu jika mau cari satu karung mudah. Berbeda seperti saat ini, tapi dipastikan sampai saat ini ada. Hanya butuh proses mencarinya lagi,” tutup Keket penuh harap.

Semoga temberungun, si keong laut legendaris ini, tetap bisa bertahan dan terus memanjakan lidah generasi penerus suku Tidung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *